Studi Komparatif Tarif Penerbangan dan Pelayaran Asing di Indonesia dengan Negara ASEAN

pada 3 Desember 2025
Studi Komparatif Tarif Penerbangan dan Pelayaran Asing  di Indonesia dengan Negara ASEAN

Oleh: Amin Subiyakto

Widyaiswara Pusdiklat Pajak

 

Abstrak

Sektor pelayaran dan penerbangan internasional memiliki peran strategis dalam perdagangan global, arus logistik, dan mobilitas lintas negara. Indonesia menerapkan rezim pemajakan khusus melalui PPh Pasal 15, yang pada praktiknya menggunakan tarif efektif 2,64% dari peredaran bruto bagi perusahaan pelayaran dan penerbangan asing berdasarkan ketentuan KMK 416/KMK.04/1996. Studi ini menganalisis tingkat kompetitivitas tarif tersebut dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand yang menerapkan skema pajak berbeda, termasuk tarif final, withholding tax, maupun pembebasan penuh untuk perusahaan asing yang memenuhi syarat insentif. Kajian ini menggunakan metode komparatif dan analisis numerik atas beberapa skenario omzet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia lebih kompetitif daripada Thailand, relatif sebanding dengan Filipina, namun jauh tertinggal dari Singapura dan Malaysia yang mengenakan tarif mendekati nol bagi operator asing. Hal ini berpotensi mengurangi daya tarik Indonesia sebagai hub logistik dan aviasi internasional. Studi ini merekomendasikan kalibrasi tarif dan penerapan skema insentif selektif untuk meningkatkan daya saing fiskal Indonesia.

Latar Belakang

Pelayaran dan penerbangan internasional menempati posisi vital dalam perdagangan dunia. Negara-negara ASEAN bersaing menjadi pusat logistik dan transportasi udara karena dampaknya yang langsung terhadap investasi, industri maritim, perdagangan barang, dan pariwisata. Indonesia mengenakan pajak atas penghasilan perusahaan pelayaran/penerbangan asing melalui PPh Pasal 15. Dalam praktiknya, tarif yang digunakan adalah: 2,64% × omset.  Tarif ini tidak berubah sejak tahun 1996.

Disisi lain, negara-negara ASEAN lain seperti Singapura dan Malaysia telah mengadopsi kebijakan very-low tax bahkan zero-tax bagi perusahaan asing melalui skema Maritime Sector Incentive (MSI) dan Aviation Hub Scheme.

Apakah tarif Indonesia masih kompetitif dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya?

Rumusan Masalah

1. Bagaimana struktur pengenaan pajak atas pelayaran dan penerbangan asing di Indonesia?
2. Bagaimana tarif Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lain?
3. Apakah posisi Indonesia kompetitif secara fiskal?
4. Apa rekomendasi ke depan?

Tarif di Indonesia

Sesuai PPh Pasal 15, perusahaan asing dikenakan pajak melalui tarif khusus. Tarif dihitung melalui pendekatan perkiraan penghasilan netto sebesar 6% dan pengenaan atas penghasilan yang dikirimkan ke luar negeri atas laba setelah dikenakan pajak sebesar 20% sehingga diperolah angka tarif 2,64%. Dapat diuraikan sebagai berikut;

  Laba Pajak
Penghasilan Neto
6%
 
-/- PPh (tarif tahun 1996) : 30%
1,8%
1,8%
Sisa laba yang akan dikirim ke principal di LN 
4,8%
 
-/- Pengenaan PPh Pasal 26 atas laba setelah pajak 20%
 
0,84%
Tarif efektif (dikenakan final terhadap omset)
 
2,64%

Penganaan tarif sebesar 2,64% bersifat final, dihitung dari peredaran bruto sehingga tidak mempertimbangkan profitabilitas yang sebenarnya.

Tarif 2,64% berasal dari perhitungan normatif tahun 1996 dan belum pernah disesuaikan. Tarif ini bersifat final, berlaku untuk charter flights, cargo shipping, passenger carriers dan loading/unloading operations.

Tarif Pajak di Negara ASEAN

Sistem pajak negara tetangga bervariasi:

Negara Kebijakan Tarif Efektif
Singapura MSI, AIS, tax exemption 0%
Malaysia Shipping incentive, income exemption 0%
Filipina Gross tax 2,5%
Thailand Withholding dari bruto 3%

Perbandingan dan contoh perhitungan pajak

Negara
Tarif
Omzet
500.000
USD
Omzet
1.000.000
USD
Omzet
5.000.000
USD
Omzet
10.000.000
USD
Indonesia 2,64% 13.200 26.400 132.000 264.000
Filipina 2,5% 12.500 25.000 125.000 250.000
Thailand 3% 15.000 30.000 150.000 300.000
Singapura 0% - - - -
Malaysia 0% - - - -

Indonesia dibanding Filipina sedikit lebih mahal (selisih 0,14%) namun masih dalam kategori kompetitif. Dibanding Thailand (3%) Indonesia lebih murah. Dibanding Singapura & Malaysia (0%), Indonesia sangat kurang kompetitif. Untuk omzet besar, perbedaan pajak bisa mencapai USD 264.000 per 10 juta USD.

Efek Strategisnya adalah Negara zero-tax dalam hal ini Malaysia dan Singapura menjadi global shipping & aviation hub. Indonesia berisiko kehilangan potensi pangsa pasar kargo internasional. Indeonesia kalah menarik unuk menjadi hub pesawat internasional disbanding Malaysia dan Singapura, begitu juga dalam hal kesempatan menjadi pusat logistik regional dan pelayanan kapal pengangkut/container.

Penyesuaian tarif, mungkinkah?

Jika mengacu pada perubahan tarif PPh Badan yang saat ini 22%, parubahan tarif pelayaran dan penerbangan asing di Indonesia sangat memungkinkan mengingat basis tarif normatif saat penentuan tarif menggunakan tarif PPh Badan saat itu yaitu 30%. Penyesuaian tarif dapat digabarkan sebagai berikut;

  Laba Pajak
Perkiraan Penghasilan Neto 6%  
-/- PPh (tarif saat ini) : 22% 1,32% 1,320%
Sisa laba yang akan dikirim ke principal di LN  4,68%  
-/- Pengenaan PPh Pasal 26 atas laba setelah pajak 20%   0,936%
Tarif efektif (dikenakan final terhadap omset)   2,256%

Akan ada penurunan tarif sebesar 0,384%, akan lebih rendah dari Filipina yang sebelumnya Indonsia lebih tinggi 0,14%.

Kesimpulan

  1. Tarif PPh Pasal 15 Indonesia (2,64%) masih relevan secara regional namun tidak berubah sejak 1996.
  2. Indonesia masih kompetitif dibanding Filipina dan Thailand namum kalah jauh dari Singapura dan Malaysia yang memberikan tarif 0% bagi pelayaran dan penerbangan asing.
  3. Secara strategis, tarif tinggi berpotensi mengurangi daya tarik Indonesia sebagai hub logistik dan aviasi.
  4. Sistem berbasis gross revenue membuat beban pajak tinggi pada perusahaan ber-margin rendah.

Rekomendasi

Evaluasi kembali tarif 2,64% yang berasal mengggunakan basis tarif PPh Badan tahun 1996 sebesar 30% menjadi tarif saat ini yaitu 22%.